Breaking News

2015 Indonesia Pecah?

Kasus KPK vs Polisi Republik Indonesia karenanya menemukan titik terang. Budi Gunawan menang dalam sidang praperadilan, semua pegawanegeri polisi senang. Kabar buruknya adalah, Budi Gunawan malah nggak jadi di lantik. Muncullah calon Kapolri gres yang berjulukan Badrodin Haiti. 

Ingat, Masalah ini masih hingga pada titik menemukan titik terang, belum benar-benar selesai. Dan saya yakin problem ini akan alot hingga beberapa waktu ke depan. Sampai kapan? ntahlah. 

Perlu kita ingat bahwa indonesia mengenal siklus 7 kala 70 tahun. 7 kala berjaya, 70 tahun kehancuran. 

Oke, kita mulai dari siklus pertama di kala ke-7. Nusantara disatukan oleh sriwijaya pada ketika itu. dan menjelang usianya yang ke-70 tahun, Sriwijaya mulai terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Dan kerajaan sriwijaya pun hanya tinggal sejarah. 

Lanjut pada 7 kala berikutnya, yaitu kala 14. Indonesia yang dulu berjulukan Nusantara ini kembali dipersatukan oleh kerajaan Majapahit. Namun sama ibarat halnya kerajaan Sriwijaya, menjelang usianya yang ke-70, Kerjaaan majapahit kembali terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. 

Dan sehabis sekian lama, karenanya Nusantara kembali di persatukan di kala ke 20 menjelang 21 yang kini berjulukan Indonesia. Permasalahannya adalah, ingatkah kalian bahwa tahun 2015 ini ialah hari ulang tahun Indonesia yang ke-70? Akankah siklus 7abad 70tahun kembali berlaku pada masa yang ke-3 ini? saya menjawab : YA!. 

Djuyoto Suntani sudah memprediksi hal ini semenjak dahulu melalui bukunya yang berjudul "Tahun 2015 Indonesia 'Pecah' ". 

Djuyoto Suntani, sang penulis buku, menyatakan dalam bukunya paling tidak ada tujuh faktor utama yang akan menjadikan Indonesia “pecah” menjadi 17 kepingan negeri-negeri kecil di tahun 2015. Kepingan negeri-negeri kecil itu sendiri menurutnya didirikan berdasarkan atas:

1. Kepentingan rimordial (kesamaan etnis),
2. Ikatan hemat (kepentingan bisnis),
3. Ikatan kultur (kesamaan budaya),
4. Ikatan ideologis (kepentingan politik), dan
5. Ikatan regilius (membangun negara berdasar agama).

Penyebab pertama ialah siklus tujuh kala atau 70 tahun. Dalam bukunya ia menuliskan;
“Seperti kita ketahui, semua yang terjadi di alam ini mengikuti suatu siklus tertentu. Eksistensi suatu bangsa dan negara juga termasuk dalam suatu siklus yang berjalan sesuai dengan ketentuan aturan alam. Dia mengambil pola Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa pada kala 6-7 M di mana waktu itu rakyat di tempat Nusantara bersatu di bawah kepemimpinannya. Memasuki usia ke-70 tahun kerajaan itu mulai buyar dan muncul banyak kerajaan kecil yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri berdaulat. Alhasil, di awal kala ke-9 nama Kerajaan Sriwijaya hanya tinggal sejarah. Tujuh kala kemudian (abad 13-14 M) lahir Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur sekarang. Kerajaan besar itu berhasil menyatukan kembali penduduk Nusantara. Namun, kerajaan ini pun bernasib sama dengan Sriwijaya. Memasuki usia ke-70 pengaruhnya mulai hilang dan bermunculanlah kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Nama Majapahit pun hilang ditelan bumi. Tujuh kala pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun 1945 (abad 20) rakyat Nusantara kembali bersatu dalam suatu ikatan negara bangsa berjulukan Republik Indonesia (abad 20-21). Tahun 2015 akan bertepatan RI merayakan HUT-nya yang ke-70″.

Dia pun menyatakan,
“Selama ini saya selalu optimis, tapi melihat perkembangan di lapangan, apa yang terjadi pada sesama anak bangsa, sungguh mengenaskan. Irama perpolitikan nasional remaja ini mengisyaratkan hitungan siklus bersatu dan bubar dalam tujuh abad, 70 tahun sepertinya kembali terulang. Berbagai fenomena alam yang menguat ke arah bukti kebenaran siklus sudah banyak kita saksikan. Pertengkaran sesama anak bangsa, terutama elite politik, tidak kunjung selesai, tulis Djuyoto. Penyebab kedua, Indonesia telah kehilangan figur pemersatu bangsa. Setelah Ir Soekarno dan HM Soeharto, tidak ada tokoh nasional yang benar-benar bisa mempersatukan bangsa ini. Masing-masing anak bangsa selalu merasa paling hebat, paling mampu, paling pintar, dan paling benar sendiri. Para tokoh nasional yang memimpin negeri ini belum mengatakan banyak sekali sosok negarawan lantaran dalam memimpin lebih mengutamakan kepentingan politik golongan/kelompok daripada kepentingan bangsa (rakyat) secara luas. Kehilangan figur tokoh pemersatu ialah ancaman paling signifikan yang membawa negeri ini ke jurang perpecahan”. Katanya tegas.

Pertengkaran sesama anak bangsa yang sama-sama merasa jago dan hebat, masing-masing punya kendaraan partai, punya jaringan internasional, punya dana/uang mandiri, punya akses, merasa punya kemampuan jadi Presiden; merupakan penyebab ketiga Indonesia akan pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil. Masing-masing tokoh ingin menjadi nomor satu di suatu negara. Fenomena ini sudah menguat semenjak era reformasi yang dimulai dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah.

Salah satu penyebab Indonesia akan pecah di tahun 2015 lantaran adanya konspirasi global. Ada grand strategy global untuk menghancurkankeutuhan Indonesia. Ada skenario tingkat tinggi yang ingin menghancurkan Indonesia atau bahkan menghilangkan nama Indonesia sebagai negara bangsa, tegasnya. Konspirasi global ini, Djuyoto Suntani melihat, terus bergerak dan bekerja secara cerdas dengan memakai kekuatan canggih melalui penetrasi budaya, penyesatan opini, arus investasi, banyak sekali tema kampanye indah ibarat demokratisasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, modernisasi, kebebasan pers, kemakmuran, kesejahteraan, hingga pada mimpi-mimpi indah lewat bisnis obat-obatan terlarang dengan segmen generasi muda.

Penyebab utama kelima Indonesia akan”‘pecah” dalam penilaiannya ialah faktor nama. Apa yang salah dengan nama? Ternyata, nama Indonesia bahu-membahu berasal dari warisan kolonial Belanda yakni East-India atau India Timur alias Hindia Belanda. Kalangan tokoh politik Belanda tingkat atas malah sering menyebut Indonesia dengan singkatan: In-corporate Do/e-Netherland in-Asia atau bila diartikan secara bebas
nama Indonesia sama dengan akronim Perusahaan Belanda yang berada di Asia. Pemberian nama Indonesia oleh Belanda memang mempunyai kegiatan politik tersembunyi alasannya ialah Belanda tidak rela Indonesia menjadi bangsa dan negara yang besar. Nama asli tempat negeri ini yang benar ialah Nusantara, yang berasal dari kata Bahasa Sansekerta Nusa (pulau) dan Antara. Artinya, negara yang terletak di antara pulau-pulau terbesar dan terbanyak di dunia alasannya ialah negara kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Bila para anak bangsa tahun 2015 bisa menyelamatkan keutuhan negeri ini sebagai satu bangsa, salah satu opsi ialah dengan penggantian nama dari Indonesia menjadi Nusantara. Nama Nusantara lebih relevan, orisinil, berasal dari jiwa bumi sendiri dan lebih membawa keberuntungan, pesan Djuyoto. Namun, lantaran perpecahan sudah di ujung tanduk, salah satu kegiatan dalam membangun kesepakatan gres sebagai bangsa dalam pandangannya ialah dengan cara (perlu direnungkan) mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Karena, nama mempunyai arti serta memberi berkah tersendiri. Tidak hanya nama Indonesia yang bisa menjadi penyebab negeri ini pecah, nama Jakarta pun ternyata ikut kuat terhadap keutuhan republik ini.

Nama Jakarta, Djuyoto mengungkapkan, mempunyai konotasi negatif bagi sebagian besar masyarakat. Bila kita ingin menyelamatkan Indonesia dari ancaman perpecahan serta punya kesepakatan bersama untuk membawa negara ini menjadi negara besar yang dihormati dunia internasional, maka nama ibukota negara seyogianya dikembalikan kepada nama awalnya yaitu Jayakarta. Nama Jayakarta lebih sempurna sebagai roh spirit Ke-Jaya-an Ibukota negara daripada nama Jakarta, sarannya.

Penyebab terakhir pecahnya Indonesia ialah gonjang ganjing pemilihan Presiden tahun 2014. Dia menyatakan dalam Pilpres 2009 bisa saja sejumlah tokoh yang kalah masih bisa mengendalikan diri tapi gejolak massa akar rumput yang berasal dari massa pendukung tidak mau mendapatkan kekalahan jago pilihannya. Mereka kemudian mempersiapkan diri untuk maju bertarung lagi pada Pilpres 2014. Pilpres 2014 ialah puncak ledakan dashyat gunung es yang benar-benar membahayakan integrasi Indonesia. Menurut Djuyoto dari isu yang ia peroleh di seluruh penjuru Tanah-Air, indikasi lantaran gengsi kalah bersaing dalam Pilpres Indonesia lantas mengambil keputusan radikal dengan mendeklarasikan negara gres bukanlah sekedar omong kosong tapi akan terbukti. Pergolakan alam negeri ini ibarat gunung es yang tampak hening di permukaan namun setiap ketika niscaya meletus dengan dashyat.

Djuyoto Suntani menjelaskan, pada Pilpres 2014 bakal bermunculan figur dari banyak sekali daerah yang mulai berani bertarung memperebutkan bangku RI-1 untuk bersaing dengan tokoh nasional di Jakarta. Para tokoh daerah sudah dibekali modal setara dengan para tokoh nasional di Jakarta. Jika mereka kalah dalam Pilpres 2014, lantaran desakan massa pendukung, opsi lain ialah mendirikan negara baru, melepaskan diri dari Jakarta. Gonjang ganjing Indonesia sebagai bangsa akan mencapai titik didih terpanas pada Pilpres 2014. Jika kita tidak bisa mengendalikan keutuhan negeri ini, tahun 2015 Indonesia benar-benar pecah. Para Capres Indonesia 2014 yang gagal ramai-ramai akan mudik untuk mendeklarasikan negara baru. Mereka merasa punya kemampuan, punya harga diri, punya uang, punya jaringan dan punya massa/rakyat pendukung. Perubahan dan pergolakan politik nasional pada tahun 2014 diperkirakan bisa lebih dashyat lantaran tidak ada lagi figur tokoh pemersatu yang dihormati dan diterima oleh seluruh bangsa.

Agar Indonesia tidak pecah, beliau menyerukan seluruh elemen bangsa untuk bersatu dan bersatu. Dia berharap seluruh bangsa menyadari ancaman yang ada di depan mata dan kemudian saling bergandengan tangan bersatu untuk menuntaskan semua permasalahan bangsa. Djuyoto bilang buku ini ditulis sebagai peringatan dini, sebagai salah satu wujud untuk berupaya menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran. Dengan adanya buku ini dibutuhkan biar bawah umur bangsa mulai menyadari bahwa hantu Indonesia pecah sudah berada di depan mata. Kalau sudah paham, dibutuhkan mulai tumbuh kesadaran dari dalam hati kemudian secara bersama-sama mengambil langkah untuk mencegah.


ke 18 negara itu antara lain.

1.Naggroe Atjeh Darrusallam : Banda Atjeh
2.Sumatra Utara : Medan
3.Sumatra Selatan : Lampung
4.Sunda Kecil : Jakarta
5.Jamar (Jawa Madura) : Surakarta
6.Yogyakarta : Yogyakarta
7.Kalimantan Barat : Pontianak
8.Kalimantan Timur : Samarinda
9.Ternate Tidore : Ternate
10.Sulawesi Selatan : Makassar
11.Sulawesi Utara : Manado
12.Nusa Tenggara : Mataram
13.Flobamora & Sumba: Kupang
14.Timor Leste : Dili
15.Maluku Selatan : Ambon
16.Maluku Tenggara : Tual
17.Papua Barat : Jayapura
18. Negara Riau Merdeka

sumber

No comments